Dalam kesempatan obrolan dengan orang yang lebih tua, sering kita jumpai
kalimat, “Halah, saya ini sudah tua, sudah nggak paham kalau disuruh
belajar”. Sehingga, banyak yang mengira bahwa orang dewasa sudah tidak
potensial lagi untuk belajar, tapi kenyataannya tidaklah demikian. Orang
dewasa masih berpotensi, tergantung pada metode yang diterapkan dalam
belajar dan mengajar si orang dewasa tersebut.
Dalam kesempatan lain, mungkin pernah juga kita jumpai kalimat, “Halah,
kamu ini masih kecil, tahu apa? Saya lebih paham”. Orang dewasa umumnya
telah memiliki kematangan konsep dan berpengalaman (termasuk pengalaman
berbuat salah). Secara psikologis, memiliki kecenderungan ingin
dipandang, dihargai dan diperlakukan sebagai pribadi yang independen
telah mampu melaksanakan konsepnya itu. Orang dewasa merasa telah
memiliki jatidiri dan telah menjadi “dirinya”. Karenanya, akan sulit
bagi kita untuk merobohkan konsepnya yang telah tertanam bertahun-tahun,
bila tidak disertai bukti dan cara pemberian pemahaman yang tepat atas
konsepnya itu.
Dua paragraf di atas adalah contoh, sebagai dasar munculnya konsep
mendidik orang dewasa yang dikenal dengan Andragogi, yaitu proses untuk
melibatkan peserta didik dewasa ke dalam suatu struktur pengalaman
belajar. Semula cara mendidik orang dewasa disamakan dengan cara
mendidik anak-anak di bangku pendidikan formal (pedagogi). Akan tetapi,
terdapat perbedaan penting antara orang dewasa dan anak-anak, sehingga
andragodi terpisah menjadi ilmu sendiri. Istilah andragogi ini awalnya
digunakan oleh Alexander Kapp, seorang pendidik dari Jerman, di tahun
1833, dan kemudian dikembangkan menjadi teori pendidikan orang dewasa
oleh pendidik Amerika Serikat, Malcolm Knowles [wikipedia.com].
Dalam andragogi, mendidik bukan berarti menggurui, bukan mengisi mereka
dengan pengetahuan tapi sebagai bentuk kerjasama saling meningkatkan
pengetahuan, dan menempatkan orang dewasa sebagai subjek bukan objek.
Andragogi mempelajari sifat fisik, psikis dan karakter orang dewasa.
Secara filosofis, Konfusius mengemukakan tiga hal penting terkait dengan
fisik dan psikis manusia, antara lain : “saya dengar dan saya lupa,
saya lihat dan saya ingat, saya lakukan dan saya mengerti”. Artinya,
mejadikan orang dewasa terlibat langsung secara fisik dan emosional akan
memudahkan tersampaikannya pesan yang kita maksud.
Meskipun variatif dan cara mengekspresikan emosinya berbeda-beda,
kelemahan orang dewasa adalah mudah tersinggung. Sangat penting untuk
menjadikan orang dewasa jangan tersinggung dengan menghindari perilaku
merendahkan, mengecewakan dan mempermalukan. Orang dewasa justru akan
senang bila dimotivasi dan dibuat senang. Sikap menghargai ini, akan
memudahkan masuknya pesan yang ingin disampaikan.
Orang dewasa tidak menyukai hal-hal teoritis dan cenderung menyukai
sesuatu yang praktis sesuai peran sosialnya (pekerjaan, tanggung jawab,
kebutuhan). Andragogi biasanya dimanfaatkan oleh profesi yang
bersentuhan langsung dengan masyarakat seperti penyuluh, fasilitator,
motivator, politikus dan profesi lain.
Barangkali secara personal kita pernah gagal mempengaruhi orang dewasa
atau yang lebih dewasa dari usia kita, agar orang tersebut mau melakukan
sesuatu. Kemungkinan jawabannya adalah kita belum memahami kondisi
fisik, psikis dan karakter orang dewasa. Setelah memahami orang dewasa,
penting juga bagi kita untuk belajar berinteraksi sesuai yang
dikemukakan oleh James Borg dalam kutipan bukunya yang berjudul Buku
Pintar Memahami Bahasa Tubuh, bahwa “bukan tentang apa yang anda
katakan, tetapi bagaimana cara mengatakannya”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar